Rabu, 30 April 2008

ARTI BULAN MEI BAGI WARGA BANJARMASIN

Tafsir Sosial Rusuh 23 Mei 1997

Oleh: Mukhtar Sarman
Kepala PK2PD Unlam

Kendati sudah berlalu sembilan tahun, sebenarnya skenario Jumat kelabu itu tak pernah jelas. Ada beberapa skenario yang mencoba menjelaskan mengapa kerusuhan 23 Mei 1997 di Banjarmasin itu sampai terjadi.

Peristiwa rusuh Banjarmasin pada 23 Mei 1997, sudah berlalu sembilan tahun. Mungkin banyak yang lupa peristiwa tragis itu. Tetapi, sesungguhnya dari sedikit orang yang masih mengingat peristiwa Jumat kelabu itu juga barangkali cuma lantaran memang menerima trauma.

Mereka trauma entah karena terjebak sebagai ‘korban’ rusuh massa yang menghancurkan sejumlah pertokoan dan aksi pembakaran harta benda; dan atau karena anggota keluarganya tewas atau ‘hilang’ dan tidak pernah diketahui nasibnya hingga kini. Setahu saya, korban kerusakan sumber usaha dan kehilangan harta benda tidak pernah mendapatkan ganti rugi dari pihak mana pun. Karena, dalam suasana chaos siapa yang dapat dituntut untuk bertanggung jawab.

Sedangkan kasus ‘orang hilang’, menurut saya, sebenarnya sekadar istilah lain untuk menyebut korban ‘tewas tanpa kuburan’. Logikanya, kalau cuma menghilangkan diri atau sebagai upaya pengaburan jejak karena takut ditangkap aparat, niscaya yang bersangkutan akan pulang ke rumahnya manakala kondisi sudah aman. Faktanya, mana mungkin orang hilang sampai melampaui waktu sekian tahun dan rezim yang menakutkan pun sudah berganti.

Kendati sudah berlalu sembilan tahun, sebenarnya skenario Jumat kelabu itu tak pernah jelas.

Ada beberapa skenario yang mencoba menjelaskan mengapa kerusuhan 23 Mei 1997 di Banjarmasin itu sampai terjadi. Dan, semua skenario itu ada sisi lemahnya. Contohnya, ada skenario bahwa kerusuhan itu karena direkayasa pihak ketiga dan diotaki provokator. Ini jelas merupakan skenario ‘kambing hitam’. Buktinya, siapa orangnya yang layak disebut sebagai provokator itu sendiri tak pernah jelas.

Skenario lainnya, kerusuhan itu karena direkayasa kriminal yang ingin menangguk keuntungan dari suasana chaos. Logikanya, kalau sedang rusuh maka para kriminal itu akan dengan leluasa melakukan penjarahan. Tapi, skenario macam itu sungguh berlebihan. Mengingat, di antara korban tewas atau hilang pada saat kerusuhan itu cukup banyak dari keluarga baik-baik.

Sebagian pengamat lebih cenderung melihat kerusuhan sosial kala itu terjadi, disebabkan letupan konflik ideologi politik -- sebagai buah dari perkubuan massa pendukung parpol peserta pemilu. Namun skenario macam itu, sebenarnya mengandaikan Orang Banjar amat fanatik terhadap eksistensi parpol tertentu yang didukungnya sehingga misalnya rela mati karenanya.

Padahal bukti sosiologis justru memberikan gambaran lain, Orang Banjar yang dominan berada di Kota Banjarmasin cenderung tidak terlalu fanatik pada suatu parpol. Baik karena alasan ‘hitung dagang’ mereka yang menyebabkan Orang Banjar fleksibel atas aspirasi politiknya, dan atau karena memang mereka cukup kritis untuk memaknai dukungannya atas suatu parpol yang notabene pada akhirnya hanya menguntungkan elitnya.

Oleh karena itu sebenarnya lebih menarik untuk dicermati secara kritis adanya sebuah skenario besar pergulatan politik nasional (kala itu), yang ditengarai melibatkan militer. Peran militer diyakini sangat menentukan dalam kasus kerusuhan 23 Mei 1997 itu, karena korban yang tewas dalam insiden itu bukan lantaran saling bentrok antarmassa pendukung parpol yang berseteru.

Korban tewas paling banyak adalah karena terbakar di Mitra Plaza. Masalahnya, mengapa korban terbakar mencapai ratusan jiwa dan menumpuk di satu tempat tertentu di bangunan pusat perbelanjaan itu? Fakta lain justru menyebutkan, ketika klimaks penjarahan massa atas toko di sekitar Pasar Sudimampir sedang berlangsung (terutama di malam hari), sejumlah warga kota di sekitar lokasi sangat jelas mendengar adanya letusan senjata api (baca: pemilik senjata api kala itu diketahui hanya aparat keamanan).

Skenario terakhir yang mengasumsikan adanya pergulatan politik di tingkat nasional dengan melibatkan militer itu, mendapatkan justifikasi. Karena, sebelum kerusuhan 23 Mei 1997 di Banjarmasin terjadi kerusuhan sosial yang anarkis di berbagai kota dan daerah di Indonesia. Seperti di Situbondo (Jatim), Tasikmalaya (Jabar), Senggo Ledo dan Pontianak (Kalbar), Rengasdengklok (Jabar), serta beberapa kerusuhan ‘kecil’ lainnya di Jateng dan Jatim. Namun demikian, skenario ini pun tetap juga menyimpan kelemahan substansial. Apakah benar Kota Banjarmasin memang sangat diperhitungkan dalam kancah pergulatan politik nasional. Dalam pengertian: kalau di Banjarmasin rusuh maka semua mata (secara nasional) akan berpaling ke situ.

Adanya sasaran utama amuk massa yang tertuju pada penguasa politik, penguasa ekonomi, institusi agama tertentu , memang memberikan justrifikasi atas skenario bahwa massa yang sedang gelap mata hatinya (kala itu) sangat boleh jadi bermaksud mengenyahkan semua institusi dan simbol yang tidak disukainya. Tetapi, apakah mereka memang benar-benar membenci institusi dimaksud. Ataukah sekadar melampiaskan kesumpekan pikirannya, karena persoalan lain yang justru tak ada hubungannya sama sekali dengan institusi yang menjadi sasaran amuk itu? Wallahualam.

Dari percakapan sehari-hari, sebenarnya cukup banyak warga kota yang menunjukkan betapa mereka tidak menyukai agama orang lain karena fanatisme sempit. Namun, hal itu tidak berarti, mereka menganggap tempat ibadah orang lain itu sebagai sesuatu hal yang najis atau perlu dimusnahkan. Bahkan dalam kurun waktu 10 tahun ke belakang --sebelum rusuh 23 Mei 1997-- tidak pernah tercatat ada konflik, atau bahkan sekadar friksi antarumat beragama di Kota Banjarmasin.

Demikian pula jikalau sekiranya latar belakang kasus itu semata karena faktor kesenjangan ekonomi antarkelompok masyarakat; lebih spesifik lagi antara kelompok pedagang dan pengusaha yang lebih banyak didominasi warga Cina keturunan dengan masyarakat lapis bawah yang marjinal. Logika demikian itu, juga tidak terlalu valid secara empiris. Soal irihati atas sukses hidup orang lain, barangkali suatu hal yang lazim terjadi dalam masyarakat kita.

Dalam percakapan sehari-hari pun dapat dengan mudah ditangkap, betapa iri hatinya sebagian kelompok masyarakat marjinal atas keberhasilan hidup kelompok mapan yang lebih banyak ditampilkan warga Cina keturunan. Namun demikian, satu hal yang tak dapat diingkari dan sebenarnya cukup mudah pula dilacak di lapangan, pedagang dari kelompok Cina keturunan itu umumnya cukup akrab dengan warga ‘pribumi’ di Banjarmasin. Dalam kadar tertentu, sebenarnya ‘pertemanan’ kelompok warga Cina keturunan itu dengan Urang Banjar dapat dinilai cukup harmonis. Dan, ketika kerusuhan itu terjadi, konon, justru Urang Banjar pula yang paling banyak memberikan jaminan keamanan kepada keluarga Cina keturunan.

Oleh karena itu, sebenarnya agak mengherankan mengapa ketika amuk massa sedang dalam puncaknya pada 23 Mei 1997 itu justru toko Cina, tanpa pandang bulu, yang paling banyak menjadi sasaran. Walaupun, konon pula, menurut sejumlah saksi mata, yang paling beringas barurusak ketika itu ditengarai bukan penduduk asli Kota Banjarmasin. Siapa saja oknum pelaku anarkis itu? Ini yang jadi masalah: semua saksi mata umumnya hanya bisa bercerita tanpa bukti.

Mencari jawab yang valid atas pertanyaan seputar mengapa kerusuhan 23 Mei 1997 itu sampai terjadi, membutuhkan rekaulang yang berani. Pertanyaannya: siapa yang berminat membongkar kasus itu? Siapa yang berkepentingan? Apa gunanya?

Saya kebetulan berada di Pulau Jawa ketika kerusuhan itu terjadi. Tetapi sejumlah kawan yang tinggal di Banjarmasin pun umumnya hanya memiliki informasi sepotong-sepotong. Masalahnya, ketika sejumlah informasi itu dicoba disusun bagai potongan puzzle, maka ternyata ada sepotong puzzle yang tak kunjung dapat ditemukan posisinya. Yakni: siapa gerangan produser yang mensponsori kerusuhan itu sehingga skenarionya bisa dimainkan. Dan, potongan puzzle itu masih misterius hingga hari ini.

Harga Sebuah Amarah
(Refleksi Jumat Kelabu 23 Mei 1997)

Oleh: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar
Siswa SMAN 1 Banjarmasin

Dampak peristiwa 23 Mei 1997 (delapan tahun lalu) yang dikenal dengan Jumat Kelabu, masih kita rasakan. Saat itu, ratusan korban berjatuhan untuk sebuah pelampiasan yang tak beralasan. Hasilnya, kerugian yang sangat besar menimpa seluruh entitas warga Kota Banjarmasin yang tak tahu apa-apa. Sungguh, sebuah pembayaran yang amat mahal untuk sebuah konflik yang tak jelas ujung dan pangkalnya.

Kita ketahui, Jumat Kelabu merupakan sebuah insiden memilukan menjelang Pemilu 1997 berupa bentrok antara massa yang membawa identitas partai/kelompok politik tertentu. Tak sedikit korban jiwa dan harta benda dari kerusuhan itu. Banyak orang hilang, pusat perbelanjaan hancur oleh amuk massa. Peristiwa itu mirip dengan Tragedi Mei 1998 di Jakarta, masyarakat menjarah pusat perbelanjaan karena barang dagangan ditinggalkan akibat terjadi amuk massa. Ironisnya di Banjarmasin saat itu , pintu masuk dan keluar plasa ditutup massa kemudian dibakar. Alhasil, ratusan orang terjebak di dalamnya. Laporan resmi menyebutkan, ada 121 korban yang terpanggang di Plasa Mitra Banjarmasin.

Tragedi Jumat Kelabu itu masih menyisakan pertanyaan mengenai motif kerusuhan tersebut. Sebenarnya, muncul banyak interpretasi mengenai sebab, motif dan fenomena di balik tragedi itu. Ada yang menyebutkan, kerusuhan terjadi karena dendam simpatisan partai tertentu kepada partai/kelompok lain dalam persoalan politik. Hal ini cukup beralasan. Mengingat, dalam kampanye salah satu partai selalu memobilisasi massa dengan jumlah yang besar tetapi pada saat Pemilu mereka kalah. Dengan konsiderasi seperti ini, wajar simpatisan partai yang dirugikan tidak percaya dan mencurigai ada ‘permainan’ di balik hasil pemilu.

Asumsi lain, kerusuhan terjadi karena perilaku simpatisan dan kader kelompok politik tertentu yang melakukan hura-hura ketika muslim melaksanakan Shalat Jumat. Memang, ada beberapa orang yang memakai identitas kelompok politik tertentu berpawai melewati masjid ketika muslim melaksanakan Shalat Jumat. Mereka juga dikabarkan membunyikan musik dengan keras ketika Khutbah Jumat dibacakan, sehingga mengundang kemarahan masyarakat. Diduga, kerusuhan itu dipicu oleh perilaku ini.

Berdasarkan pengalaman saya saat masih bertempat tinggal di Jalan Ahmad Yani Kilometer 2 Banjarmasin, isu terjadi keributan pada waktu Shalat Jumat telah ada ketika saya pulang shalat dari Masjid RS Ulin. Suasana menjadi tegang, ketika Jumat siang itu beberapa orang bersenjata tajam lewat di depan rumah saya. Terlepas dari penafsiran itu, yang jekas Tragedi 23 Mei itu membuat banyak orang tak bersalah menjadi korban. Mayat di Plasa Mitra bukan hanya kader atau simpatisan kelompok politik yang berkonflik, tetapi juga masyarakat yang tak tahu apa-apa.

Ditinjau dengan pendekatan sosiologi, Tragedi 23 Mei 1997 berkaitan erat dengan konflik dan kekerasan. Tragedi ini jelas telah menimbulkan korban jiwa sebagai indikator terjadinya kekerasan. Berpegang pada teori lingkungan sosial, kekerasan akan terjadi jika di sebuah lingkungan terjadi sesuatu yang sensitif atau tidak kondusif. Kasus kerusuhan 23 Mei 1997, sangat erat kaitannya dengan lingkungan sosial-masyarakat yang kurang kondusif. Asumsi ini diperkuat oleh adanya fakta, pada masa itu ada semacam sentimen negatif antara kedua belah pihak yang berkonflik secara politik sehingga iklim konflik semakin terasa terutama di akhir era 1990-an.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Jangan sampai kita terlibat konflik hanya karena persoalan yang sangat sepele seperti masalah politik. Ingat, kita membayar sangat mahal hanya untuk melampiaskan amarah dan emosi. Akankah kita bangkit, bersatu untuk sebuah reformasi? Stop Bacakut Papadaan!



3 komentar:

  1. asli......mantap artikelnya, jadi ingat waktu itu saya di kandangan, kabar yang beredar banyak aparat yang diberangkatkan menuju Banjarmasin..... Tapi sudahlah...., semoga ini tidak akan terjadi lagi...khususnya dikalimantan

    BalasHapus
  2. sudah lawas banar kejadiannya...waktu itu saya juga berada di pulau jawa...sedih kalau mengingatnya...karena ada satu teman ibu saya, yang putranya menjadi korban hilang,setelah itu karena menanggung beban fikiran yang berat, sang ibu akhirnya gila..dan sang ayah jadi sakit2sakitan dan akhirnya meninggal dunia selang beberapa bulan kemudian.....

    BalasHapus
  3. banjar terkenal dengan masyarakat mayoritas muslim ,,, manamungkin bisa orang luarbanjar meng-utak-atik ,,, pastilah ada orang dalam yg terlibat ,,,

    BalasHapus