Rabu, 30 April 2008

ARTI BULAN MEI BAGI WARGA BANJARMASIN part 2

Anak Cacat Korban KerusuhanApr 23, '05 3:33 AM
for everyone

Bertahan Hidup Di Kolong Jembatan

SELASA
lalu, di tengah bising lalu lalang kendaraan bermotor, antara deru hilir mudik perahu bermesin. Tidak jauh dari jantung Kota Banjarmasin, di lorong remang bawah Jembatan Merdeka, BPost menemukan sisi kemiskinan yang terlupakan. Berikut kisahnya;

Lorong dan ruang udara yang pengap, gelap dan sebagian remang ditembus cahaya matahari, dimanfaatkan sejumlah manusia untuk bermukim. Ruang itu disekat beberapa bagian dengan langit-langit tak lebih tinggi dari 1,5 meter. Di salah satu sekat berukuran 3x3 meter hidup Ramali, 12 tahun, bersama ibunya Hindun serta pamannya Mawardi, 54 tahun.

Ramali adalah anak cacat fisik. Tubuhnya kurus, tidak ada kegembiraan masa kanak-kanak yang terpancar segar di wajahnya. Mimiknya datar, sorot matanya menerawang termasuk saat melihat BPost permisi masuk ke gubuknya. Pembawaannya seperti tidak menggambarkan isyarat kesusahan.

Tapi apa kenyataannya. Di balik sikapnya itu ada kegetiran yang ia sandang. Mawardi menceritakan kalau cucunya Ramali adalah anak korban kerusuhan berdarah di Banjarmasin pada 21 Mei 1997 silam. Bapaknya Udin hilang saat kerusuhan terjadi. Memang ketika itu ia masih kecil berumur 3,5 tahun tapi bagaimanapun sudah tahu betul bentuk wajah dan kasih sayang seorang bapak.

Menurut Hindun, entah bagaimana nasib suaminya. Ia sudah mencoba segala macam usaha mencari keberadaan suaminya termasuk ke orang pintar (dukun). "Akhirnya kami menganggapnya sudah meninggal, apalagi saat kerusuhan banyak yang mati, kejadiannya sudah lewat dan sudah lama, kami tidak punya apa-apa yang ada hanya kami jalani keadaan sekarang di bawah jembatan," urainya.

Kegetiran masa silam yang dirasakan Ramali bertambah karena menemui ambang masa depan yang suram. Keluarganya tergolong hidup pas-pasan. Krisis ekonomi yang melanda bangsa setelah tahun 1998-2000 membuat ia dan keluarganya makin terpuruk dalam jeram kemiskinan.

"Semula kami punya rumah di Kertak Baru, kemudian menumpang, dan sekarang tinggal di bawah jembatan," ungkap ibunya. Lagi pula sepeninggal mendiang bapaknya, tidak ada lagi penopang hidup keluarga. Sehingga wajar ia sama sekali tak sempat mengecap dunia pendidikan kecuali hanya menamatkan taman kanak-kanak.

Dunia anak-anak yang belum banyak ia rasakan berganti dengan dunia keras hidup di kolong jembatan. Bayangkan, ia, ibunya dan pamanya yang menempati barak yang jauh dari standar kesehatan dan keamanan harus disusul dengan kondisi fisik Ramali yang cacat dan sakit-sakitan.

"Kasihan kalau mengenang masa lalu ia bersama bapaknya, apalagi ia (Ramali) juga harus menahan rasa sakit di pinggul kananya," terang Mawardi. Pinggul kanannya berlobang, lembek mengeluarkan nanah. Penyakit itu muncul setelah kakinya patah terjatuh ketika kecil sehingga sekarang ia harus menggunakan dua tongkat.

Tidak banyak kegiatan yang ia lakukan di tinggal bawah jembatan. Karena kondisi fisiknya ia memilih lebih banyak tinggal di gubuk pengap dan berbau. Kalaupun keluar gubuk itupun tidak terlalu lama hanya untuk menghirup udara segar atau belanja makanan ringan serta belajar mengaji saat sore hingga menjelang petang di kawasan Pasar Kupu Kupu.

Paling membahagiakan yang dirasakan Mawardi dan Hindun adalah Ramali adalah sosok anak yang tegar menghadapi hidup. Ia tidak banyak mengeluh dengan kondisi keluarga. Walaupun namanya penyakit ia kadang meringis menahan sakit di lukanya. "Tapi kebanyakan saya tahu sebenarnya ia sering menahan rasa sakit itu meskipun tidak ia bicarakan ke kami," ujar Mawardi.

Tidur bertiga di bawah jembatan bersama sejumlah orang lainnya memang penuh resiko. Mawardi menceritakan, selain khawatir dengan ancaman dari pihak luar, ia juga mengakui khawatir dengan kesehatan mereka bertiga. "Tapi bagaimanpun agar kami bisa hidup, kami harus berani menjalaninya meski harus tinggal di bawah jembatan," tegas Hindun.

Gangguan dari pihak luar dan sesama tetangganya penghuni kolong jembatan kerap ditemui apalagi kalau bukan aksi premanisme. Sisi kekerasan lainnya, baku hantam sering terjadi antara sesama penghuni kolong jembatan. "Kalau mabuk-mabukkan dan memaksa masuk ke tempat kami itu biasa, belum lagi perkelahian, maklumlah mereka para gelandangan yang hidup bebas," tambah Mawardi.

Dia mengaku hidup penuh kewaspadaan. Namun sikap yang ia pegang adalah tidak mengganggu orang. Demi keamanan, ia tidak ambil pusing dengan kegaduhan sekitar. "Saya cuma kasihan dengan Ramali, ia masih kecil, lingkungan keras seperti ini sebenarnya belum pantas ia rasakan, tapi apa boleh buat sering juga ia terkena imbas lingkungan," tuturnya.

Agar bisa makan sehari-hari pun, Mawardi memegang teguh prinsip apa saja dikerjakan asal halal dan tidak mengemis. Makanya demi menghidupi Hindun dan Ramali ia bekerja serabutan menjual beragam barang bekas di Pasar Kasbah. "Saya bekerja untuk hidup, tidak mau mengemis, dan tidak enak minta bantuan ke orang lain," tambahnya.

Ramali sendiri tidak banyak menuntut. Ia sadar betul dengan keadaan ekonomi keluarga. Kalaupun ada rezeki, ia dapatkan dari pemberian langsung dari orang lain yang kebetulan iba melihatnya berjalan berjingkit dengan tongkat di jalan raya.

Namun sekarang, masalah penting yang ia idamkan adalah bagaimana ia bisa sehat seperti anak-anak lainnya. Lukanya sembuh dan satu yang ia cita-citakan adalah bisa bersekolah. fikria hidayat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar